Kyai Madura, Guru Pendiri NU
Sungguh benarlah kiranya pernyataan dan keputusan Kyai Sholeh
(Pengasuh Pondok Pesanteren Bunga, Gresik, Jawa Timur).
Kholil, si bocah
Madura itu, bukanlah anak sembarangan. Beberapa puluh tahun kemudian
Kholil menjadi seorang syekh yang sangat dihormati. Banyak muridnya yang
menjadi ulama besar di Madura dan Jawa. Usia
Syekh Kholil lebih dari
100 tahun.
Subhananlloh, murid-muridnya pun banyak yang berusia di atas 100 tahun.
Sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini, antara lain
KH Hasyim Asy’ari, pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng
Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul
Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di seluruh dunia. KH Hasyim
Asy’ari juga tercatat sebagai Pahlawan Nasional. Cucu KH Hasyim Asy’ari,
yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah mantan Ketua PB NU dan
Presiden RI ke-3.
KH R As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo), juga murid Syekh Kholil.
Begitu juga KH Wahab Hasbullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren
Tambak Beras, Jombang), yang juga pernah menjabat sebagai Rais Aam NU
(1947 – 1971). Muridnya yang lain adalah KH Bisri Syamsuri (Pendiri,
Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH Maksum (Pendiri,
Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah), KH. Bisri Mustofa
(Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang/Dikenal sebagai mufassir Al
Quran).
Di Madura sendiri, yang menjadi murid Syekh Kholil adalah KH
Hasbullah Abubakar Tebul (Kwayar Bangkalan, Madura/Makam Kramat Pantai
Kedung Cowek Surabaya), KH Muhammad Thohir Jamaluddin ( Sumber Gayam,
Madura). Dan masih banyak lagi ulama-ulama besar yang menjadi murid
Syekh Kholil yang dikenal luas hingga saat ini.
Untuk mencapai martabat setinggi itu, Syekh Kholil melaluinya dengan
perjuangan berliku. Ia berguru di beberapa pondok pesanteren di
Indonesia, dengan melalui kehidupan yang memprihatinkan.
Ada cerita menarik ketika Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi,
yang mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil santri menjadi
buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga sen. Semua hasil
memetik kelapa disimpan di dalam peti, lalu di persembahkan pada Kyai.
Untuk biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan
prihatin. Terkadang mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring.
Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari
kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma.
Sesudah cukup di pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk
melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan
kepada kyai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di
Makkah.
Suatu hari, Kholil pulang menemui Nyai Maryam (kakaknya). Kholil berkata: “Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.”
“Mau berangkat kapan, Lil?” tanya Nyai Maryam.
“Sore ini, kak,” jawab Syekh Kholil.
“Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, Lil. Kamu makan dulu sebelum berangkat.”
Setelah makanan siap, Syekh Kholil pun makan dan kemudian pamit
berangkat ke Makkah. Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam
menatap kepergiannya sampai tak terlihat.
Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan
berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari membaca Al-Qur’an
dan shalawat, malam hari wirid dan taqarub kepada Allah.
Setibanya di Makkah, Kholil segera bergabung dengan teman-temannya
dari Jawa. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi. Kebiasaan hidup
sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu di pesantren Jawa.
Kholil sering makan kulit semangka. Sedangkan minumannya dari air
zamzam.
Begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di Makkah. Hal
ini mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Nawawi dari Banten,
Akhmad Khatib dari Minang Kabau, dan Ahmad Yasin dari Padang.
Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu
dhohir (eksoterik), seperti tafsir, hadits, fikih dan ilmu nahwu, juga
mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Kholil
mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas
tulis. Setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi.
Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu
Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad
Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah.
Syek Ali Ar-Rahbini adalah salah satu guru terdekat Syekh Kholil di
Makkah. Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini punya putra
bernama Syekh Muhammad bin Ali, lahir pada tahun 1286 H (1871) dan
wafat tahun 1351 H (1934). Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun
dari Syekh Kholil.
Sepulang dari Makkah, Kholil tinggal bersama Nyai Maryam (kakaknya),
di Keramat. Kholil bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan sebagai
penjaga dan kebagian jaga malam.
Kanjeng Adipati kemudian mengganti tugas Kholil menjadi pengajar
keluarga Adipati, dan akhirnya dihormati dan dicintai sebagai ulama.
Kerabat Adipati menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek (30 Rajab 1278
H/1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah
dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di Desa Jangkibuan.
Beliau pun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai
menerima santri sambil mengajar di Keraton Adipati.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat. Nama beliau cepat
dikenal oleh masyarakat. Banyak teman mondok beliau seaktu Jawa tidak
percaya bahwa Kholil sebagai ulama besar.
Karena penasaran, ada temannya yang sengaja datang ke Bangkalan.
Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “Mana rumah
Syekh Kholil?” Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil.
Temannya itu ternyata melihat banyak binatang buas di itu.
“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, Pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya,” kata orang yang berkunjung itu.
“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”
Begitu tiba di tempat itu, temannya melihat sebuah rumah yang
dikerumuni binatang buas. Bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil
dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah
benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang itu itu pun langsung
mencium tangan Syekh Kholil.
Meskipun sudah terkenal, hubungan Syekh Kholil dengan keluarga
Ar-Rahbini berlangsung sampai pada cucu gurunya, yaitu Syekh Ali bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.
Cerita kedatangan Syekh Ali ke Indonesia (Madura) cukup menarik
sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil. Syekh Ali datang ke
Indonesia pada tahun 1921. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun
dan berguru kepada Syekh Kholil.
Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil
mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan
berkata: “Sebentar lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh
Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.” Padahal, waktu itu belum ada
telepon.
Setelah Syekh Ali datang, Syekh Kholil menyuruh santri untuk
mengambil tiga gelas di atas nampan. Gelas yang pertama diisi air putih.
Gelas kedua diisi susu. Gelas ketiga diisi kopi.
Syekh Kholil kemudian berkata pada santri-santri: “Apabila Syekh Ali
minum susu, Insyaallah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali
minum air putih, Insyaallah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan
akan pulang ke Makkah. Apabila Syekh Ali minum kopi, Insyaallah beliau
terus tinggal di Indonesia.”
Para santri pun menunggu saatnya Syekh Ali memilih di antara tiga
gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi. Kontan saja para
santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja, karena tidak
mengerti apa yang terjadi.
Kisah lainnya adalah Syekh Ali pun menikahkan salah satu cucunya
dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak pertama dari
pasangan sang Kyai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh Ali, maka
Syekh Ali memberi nama bayi itu Kholi”.
Syekh Kholil awalnya keberatan, karena sudah banyak yang bernama
“Kholil” di keluarga beliau. Syekh Ali berkata: “Biarpun sudah ada
seribu ‘Kholil’, tetap harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’
seribu barokah!” Anak itu pun diberi nama “Kholil”.
Begitulah kisahnya, yang dianggap hanya sebagai Bocah dari Madura itu
ternyata menjadi Syekh yang sangat luar biasa. Kyai As’ad Syamsul
Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo
Asembagus, Situbondo), menuturkan bahwa pada saat Kyai Kholil berzikir
di ruangan majelis dzikir, apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar
biru yang sangat terang memenuhi ruangan tersebut.
(*Penulis adalah wartawan tinggal di Jakarta/Bahan disarikan dan diolah kembali dari Majelis Taklim Bi Zikrillah)